Selasa, 19 Agustus 2008

Angger Parameng Kawi

malam ini aku memilih menjadi Angger Parameng Kawi. Nama Jawa. yang semakna dengan Sang pengolah kata-kata....

Angger adalah lelaki yang sepi. Sering kehilangan makna hari-hari yang dia lalui. Saat muda dulu, dia seorang yang pemurung. Sering menghabiskan senja di terminal Blok M. Di tengah hiruk pikuknya orang lalu lalang, Angger hanya menatap matahari senja, sesekali menenggak Coca Cola dingin. Dia menikmati kesendirian di tengah keramaian. Jakarta adalah belantara manusia. Karena orang-orang lalu lalang itu tidak ada yang pedulikan dia. hmmm....
Sebagai Angger Parameng Kawi, tentu aku juga belajar menjadi pemurung. Menikmati setiap denyut dalam otak. Menikmati setiap dengung dalam telinga. Malam menjadi simponi. Detak jam, dengung nyamuk, gemericik air.... bahkan denyut nadi begitu mempesona aku.

Kemarin malam, aku berbincang dengan orang-orang hebat. Calon anggota Dewan yang terhormat. Berbincang tentang tatanan masyarakat yang harus dibenahi. "Anda bisa bantu kan?" mendengar pertanyaan itu, aku hanya tersenyum. "Membantu apa? jangan-jangan aku justru bagian dari masalah di masyarakat kita??" Dalam hati, aku mengangguk. Aku kan siap jadi cacing tanah. Bahkan, jika memang diperintah menjadi Karna dalam Batarayudha -pun aku siap. atau Kumbakarna dalam Ramayana....

Jadikan saja aku kayu bakar, untuk api unggun kita ini. Jadikan saja aku kain pel dalam satu pesta. Jadikan saja aku baut kecil dalam mesin peradaban ini.

Jadilah aku: Angger Parameng Kawi, berdiri di sini, nyaris semalaman; untuk sebuah misi kebaikan yang entah... kapan kemenangan itu dapat diraih. Cacing tanah itu berbaur dengan binatang-binatang malam, membakar diri agar menjadi pelita makhluk di sekitar....

Hanoman itu berlompatan, petakilan, membiarkan bulu-bulunya terbakar. lalu melompat ke arah istana Rahwana.... biarlah tubuhnya hangus, namun istana sang durjana pun ikut terbakar....